Kejadian Gempabumi 8,5 SR yang terjadi hari Rabu (11/4) pada pukul 15:38:33 WIB di 346 km Baratdaya Simeuleu Aceh yang dirilis oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah melalui www.bnpd.go.id mengantar rasa penasaran saya untuk mengetahui lebih jauh tentang peranan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) khususnya yang berada di kabupaten Bone.
Maka pada hari Kamis (12/4) sekitar pukul 10.00 pagi, saya sengaja berkunjung ke kantor BPBD kabupaten Bone. Kantor yang menyatu dengan beberapa SKPD tersebut berada di lantai 2, memiliki dua ruangan. Satu ruangan diisi oleh Kepala Badan dan para Kepala Bidang, dan ruangan lainnya adalah ruangan staff.
Diantar oleh H.A.Bachtiar salah seorang anggota Tim Teknis Program Adaptasi Perubahan Iklim kabupaten Bone yang pernah mengikuti pelatihan CVCA (Climate Vulnerability and Capacity Analysis) yang dilaksanakan oleh CARE International Indonesia melalui BCR CC Project, saya dipertemukan dengan Kepala Badan-Drs. H.M.Idris, yang merupakan Kepala Badan pertama sejak dibentuk pada bulan Oktober 2010 melalui Perda No. 04 tahun 2010.
Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Badan dan ditambahkan oleh Sekretaris Badan, Baharuddin,S.Ip, bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten Bone memiliki 3 bidang yaitu Bidang Pencegahan & Kesiapsiagaan yang dijabat oleh H.A.Bachtiar,S.Sos; Bidang Rehabilitasi & Rekonstruksi dijabat oleh H.Abdu Samad H,ST,Msi; dan Bidang Kedaruratan & Logistik yang dijabat oleh M.Ilham,S.Sos.
Sejak dibentuk pada tahun 2010, BPBD kabupaten Bone telah mengidentifikasi Bencana yang paling sering terjadi pada tahun 2011 adalah Bencana Kebakaran dan Angin Puting Beliung, sementara bencana Banjir dan Longsor tidak terdata dalam laporan tahunan.
Informasi tersebut berbeda dengan laporan hasil assesment CVCA yang dilakukan di 10 desa pesisir, bahwa bencana banjir menjadi bencana yang paling sering dialami oleh masyarakat. Saat dikonfrontir, Kepala Badan mengelak bahwa informasi tersebut berdasarkan laporan dari Kecamatan, mereka hanya merangkumnya saja, dan diklarifikasi pula oleh Kepala Bidang Kesiapsiagaan bahwa kemungkinan kejadian Bencana Banjir tersebut memang terjadi namun tidak menimbulkan korban jiwa maupun material.
Hal ini menjadi entry point bagi Program, bahwa data partisipatif memang sangat penting untuk didapatkan dan dimiliki sebagai bahan pembanding atas data sekunder yang dikumpulkan dari Pemerintah.
Proses pengumpulan data secara partisipatif dengan menggunakan metode Focus Group Diskussion (FGD)-Kelompok Diskusi Terfokus, dengan tools yang tersedia, telah membuat masyarakat memiliki ruang dan kesempatan untuk menceritakan apa yang terjadi dan dialami tanpa tekanan dan informasi tersebut langsung terklarifikasi diantara mereka sendiri, bahkan diperkuat kembali pada saat kegiatan konsultasi publik.