HASIL WAWANCARA DENGAN FASILITATOR CVCA
Nama Responden | : | Herman Wafir |
Alamat Responden | : | Desa Pallime Kec. Cenrana Kab. Bone |
Status | : | Menikah |
Tempat dan Tanggal Lahir | : | Labotto, 08 Februari 1971 |
Pekerjaan Sekarang | : | Aktivis LSM LONTARA |
Jabatan di Program Assesment | : | Fasilitator CVCA, Koordinator Kecamatan Cenrana |
Waktu Wawancara | : | Minggu, 19 Desember 2011 ( Via Telepon) Jam 13.00 – 14.00 Wita |
Pengantar Wawancara | ||
Perkenalan dengan responden sudah dimulai sebelum perekrutan Fasilitator CVCA, saat itu Mitra CARE sdr. Syamsul Rijal (LSM LPPMI/FMS) memperkenalkan saya dengan kawan-kawannya diantaranya Saudara Herman. Berbincang dan berdiskusi dengan dia sangat menarik, apalagi bila berhubungan dengan pemberdayaan. Pada saat pelatihan Fasilitator CVCA dia banyak berbagi dengan kawan-kawan peserta lainnya mengenai Tools PRA yang telah banyak dipraktekkannya saat menjadi Fasilitator di PNPM. Pada saat Tim enumerator berkunjung ke Desa Latonro, dia yang mempersiapkan semua kebutuhan Tim, mulai dari penjemputan, penyediaan perahu dan berkoordinasi dengan pemerintah kecamatan dan desa. Hasil wawancara saya dengan responden dibagi dalam beberapa tema, seperti yang tercantum di bawah ini : | ||
Hasil Wawancara | ||
Motivasi Bergabung Herman Wafir merupakan salah seorang dedengkot LSM di kabupaten Bone yang memiliki komitmen yang kuat untuk membangun masyarakat desa. Sejak mengenal dunia pemberdayaan yang dimulai dari desanya saat menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat tahun 1990-an, kemudian meningkat dengan mendirikan LSM bersama teman-temannya yang konsen pada pendampingan Ibu dan Anak yang dinamakan LSM LONTARA tahun 2003, perkenalannya dengan dunia pemberdayaan membuatnya jatuh cinta dan mengabdikan sebagian besar hidupnya pada kerja-kerja pemberdayaan. Dia pernah dikontrak oleh UNICEF untuk program pendampingan pendidikan di dua kecamatan, kemudian menjadi pendamping penguatan kapasitas pada program WESLIK-2 di 31 desa, serta pendampingan pada Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. “Saya sudah terlanjur jatuh cinta pada dunia pemberdayaan, sehingga sudah tertanam dalam hati saya, bahwa apapun kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat desa, maka saya akan abdikan diri saya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat”, tandasnya. Dia sangat tertarik dengan program CARE International Indonesia yang konsen pada program Adaptasi Perubahan Iklim. Menurutnya, program tersebut harus didukung bersama, karena saat ini issu tersebut menjadi permalasahan utama khususnya di daerah pesisir. Dia bersyukur, karena salah satu desa yang terpilih adalah desanya yakni Desa Pallime bersama Desa Latonro (Red. Proses pemilihan desa sudah ditetapkan di kecamatan Cenrana sebelum dia bergabung). Hal tersebut semakin menguatkan hatinya untuk bergabung di program tersebut dan bersedia menjadi Fasilitator CVCA Kecamatan Cenrana atas permintaan Camatnya. Pengalaman Mempraktekkan Tools CVCA Dia mengakui bahwa dia sudah banyak mengikuti pelatihan tentang PRA, bahkan juga sudah beberapa kali mempraktekkannya pada berbagai program yang dia ikuti, namun dia sangat beruntung dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya tentang PRA, dimana pada Metode CVCA yang dilatihkan oleh CARE memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri karena fokus pada Kerentanan Iklim. Pengalamannya mempraktekkan metode PRA tersebut, menjadi kunci dalam membimbing kawan-kawannya sesama Fasilitator. Sebagai yang dipercaya menjadi Koordinator Kecamatan, dia menerapkan prinsip belajar bersama. Semua orang punya potensi dan kekurangan. Potensi yang ada dikembangkan untuk meningkatkan kualitas fasilitasi, sementara kekurangan yang ada ditutupi dengan saling melengkapi dan mendukung satu sama lainnya. Dia berharap agar ada pengembangan Tools CVCA khususnya pada pertanyaan-pertanyaan kunci. Kedepannya, diharapkan pertanyaan-pertanyaan kunci yang dibuat dapat membuka ruang dalam mengakomodir permasalahan yang terjadi di masyarakat. Khususnya pada Tools Diagram Venn, dapat ditambahkan informasi tentang bagaimana pola pengambilan keputusan dan kebijakan dalam suatu organisasi/lembaga. Juga perlu ditambah jumlah komunitas yang diajak berdiskusi sehingga pemahaman akan suatu permasalahan lebih luas. Hambatan dan Tantangan Selama berprogram bersama masyarakat, dia melihat masih ada pola fikir masyarakat yang disebutnya sebagai “paradigma” yang harus dirubah bahwa bila ada orang luar datang ke desa maka orientasinya membawa bantuan. Kita tidak dapat menyalahkan pemikiran seperti itu, tinggal bagaimana mengajak masyarakat untuk terlibat aktif mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga pasca kegiatan agar terjadi keberlanjutan terhadap program. Tingkat pendidikan masyarakat juga masih rendah, sehingga Fasilitator mengalami kesulitan menjelaskan maksud dari pertanyaan kunci yang banyak menggunakan istilah ilmiah. Fasilitator harus mengulang-ngulang pertanyaan dalam beberapa versi bahasa hingga masyarakat bisa memahami maksud dari pertanyaan tersebut dan mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Persoalan transportasi juga masih menjadi kendala, karena untuk menjangkau lokasi harus menggunakan perahu “Katinting” yang disewa khusus untuk itu. Lebih parahnya lagi jika air surut, perahu tidak bisa lewat pada beberapa titik, sehingga perahu mesti didorong bersama agar bisa lewat. Catatan tentang Kerentanan Iklim Informasi yang paling penting terkait kerentanan iklim yang diperolehnya selama FGD di 2 desa adalah persoalan BANJIR. Ancaman Banjir merupakan dampak dari banjir kiriman dari sungai Walanae, dimana kedua desa tersebut menjadi lokasi pembuangan terakhir luapan banjir. Pada musim hujan, para petani tambak yang pertama merugi, mereka tidak bisa memproduksi, karena pematang rendah tidak dapat menampung luapan air, sehingga isi tambak keluar dan hanyut di bawa air. Demikian pula pada musim kemarau, di cenrana dan pallime masyarakat tidak bisa mengkonsumsi air, mereka harus mengambil air kurang lebih 11 km keluar desanya yang berada di di kecamatan lainnya (Dua Boccoe), itupun air yang diambil bukanlah air yang bersih dan sehat untuk dikonsumsi, melainkan tetap air sungai. Namun karena tidak ada alternatif lain, sehinnga tetap dikonsumsi. Kemampuan Beradaptasi Masyarakat Menurut pengamatannya, masyarakat tidak memiliki mata pencaharian tetap yang dapat menunjang kehidupan diri dan keluarganya, namun tergantung pada musim. · Ketika musim hujan, masyarakat beralih profesi dari petani tambak dengan mencari ikan di laut atau mencari bibit kepiting (patakkang) di laut. · Ketika musim kemarau, masyarakat lebih banyak berbudidaya sango-sango (rumput laut) di tambak. · Di Pallime dan Latonro, pada tahun 1990-an pernah menjadi sentra budidaya kepiting di Sulawesi Selatan. Sekarang tinggal kenangan. Karena pengaruh iklim yang ada disana, bahkan bibit kepiting sudah sulit ditemukan. Dulu, kebanjiran kepiting, orang luar datang kesana, sekarang terbalik orang luar yang mensuplai bibit kepiting ke desa tersebut. Dukungan Pemerintah Dia memberikan acungan jempol pada dukungan Pemerintah terhadap kegiatan Assesment yang dilakukan. Pada setiap kesempatan kegiatan yang dilakukan CARE, Camat Cenrana selalu hadir memenuhi undangan dan memberikan motivasi kepada Fasilitator Desa. Demikian pula dukungan dari Pemerinah Desa, yang terjun langsung ke lapangan mengumpulkan masyarakat dan ikut berdiskusi bersama masyarakat. Demikian pula dukungan dari Pemerintah Kabupaten, yang mengirimkan Tim Teknisnya untuk memonitoring kegiatan, hal tersebut mampu meningkatkan partisipasi masyarakat atas kegiatan yang dilakukan. Rekomendasi kepada CARE Pada sesi terakhir wawancara, dia menitip beberapa pesan kepada Manajemen CARE agar hasil-hasil assesment dapat dilokakaryakan. “Kami berharap, agar hasil FGD yang telah dilakukan didesa-desa dapat dilokakaryakan kembali di tingkat desa dan kecamatan, untuk mendapatkan klarifikasi dan tambahan informasi terkait kerentanan iklim yang terjadi di desa”, pintanya. Selain itu, dia berharap ada semacam Kegiatan yang sifatnya Pilot Project. Contohnya di Desa Latonro dan Pallime, dimana pada musim kemarau mengalami kesulitan mendapatkan air bersih, bahkan harus keluar desa naik perahu sejauh 11 kilo meter di desa tetangga untuk mendapatkan air bersih, namun ternyata yang diperoleh juga adalah air sungai. Masyarakat paham bahwa mengkonsumsi air sungai itu tidak sehat, namun mereka tidak punya pilihan lain. Sehingga diharapkan, dalam disain program nantinya, dapat dipilih salah satu kegiatan yang bisa memberikan contoh solusi kepada kesulitan yang dihadapi warga. Misalnya alat penyulingan air bersih dimana peralatan yang digunakan memanfaatkan potensi yang ada di desa tersebut seperti ijuk, pasir dan kerikil. Hal ini tidak memakan biaya yang besar namun mampu memberikan solusi atas kerentanan yang dihadapi oleh warga khususnya warga miskin dan kaum perempuan. |