Pada sebuah kampung di ujung negeri, hiduplah masyarakat bersama dinamika yang melingkupinya. Para tetua menasbihkan diri menjadi pemilik masa lalu, ditempatkan sebagai orang terpandang di kampungnya. Kaum perempuan telaten merajut jaring, kaum lelaki bergelut garang menantang badai dengan perahu angin. Anak-anak riang bermain di tepian mencari ceceran cottonie yang terseret arus. Begitulah kehidupan masyarakat di ujung pesisir yang berjalan harmonis dengan lingkungannya.
Waktu itu, ikan tak sulit digapai jaring, tangan-tangan mungil anak laut dengan amannya menjepit kepiting, bahkan rimbunan bakau masih disebut hutan. Tapi itu dulu, kini keindahan itu telah menjelma resah, ketika badai makin sering menerjang, saat banjir mulai menggenangi pemukiman, kala pasang sudah menenggelamkan pematang.
Di saat ketakutan sedang menyelimuti kampung, tiba-tiba datanglah seorang Pendekar, menyampaikan kabar bahwa alam tak lagi ramah, semua karena ada yang berubah pada langit, pada atmosfer, pada angin, pada laut, pada gelombang. “Tapi tak perlu kuatir, jika kita bersatu, kita bisa menghadapinya,”kata sang Pendekar menyemangati warga.
Masyarakatpun terpesona dengan pengetahuan sang Pendekar, maka atas nama “keingintahuan”, maka diutuslah pemuda kampung untuk belajar padanya.
“Wahai sang Pendekar, apa sesungguhnya yang terjadi dengan kampung kami?” tanya utusan itu.
Dengan bangganya, sang Pendekar yang sudah dilatih oleh Guru dari Negeri “8 Penjuru Angin” menunjukkan sebuah alat, sambil berkata “ Ini aku berikan senjata pamungkas. Gunakanlah senjata ini bersama orang-orang di kampungmu, maka kalian akan tahu apa yang terjadi.”
Betapa riangnya hati sang Pemuda. Dengan membawa sejumput harapan baru, bergegaslah dia pulang mengabarkan kepada seantero kampung. Warga kampungpun berkumpul ingin tahu seperti apa senjata itu. Muncullah komentar dari seorang Terpandang, “cukup lama kita terbelunggu duka, mengais asa pada usulan, namun sampai sekarang tak pernah terwujud. Semoga alat ini bisa menjawab rasa ingin tahu kita”. Mulailah Sang Pemuda menggunakan alat itu, berkeliling kampung mempelajari fenomena yang ada, memahami sejarah kampung, bertanya pada kaum Ibu yang sibuk dari sebelum matahari terbit hingga mata anak dan suaminya terpejam, mencatat tetang siklus musim di 12 bulan berlalu.”
“Sungguh hebat senjata itu, bisa mengungkap data dan fakta yang terjadi di kampung kita”, puji Kepala Kampung. Hanya dalam jangka waktu singkat, mampu merekam aktivitas keseharian warga, dan fenomena alam.
Berangkatlah kembali Sang Pemuda menghadap Sang Pendekar, tak sabar melaporkan kedahsyatan senjata yang diberikan. Dihadapan Sang Pendekar, Sang Pemuda bercerita apa saja data dan informasi yang sudah dikumpulkan dari masyarakat. Sang Pendekar kemudian meminta Sang Pemuda membuat jadwal pertemuan dengan masyarakat. “Informasi yang engkau berikan belumlah cukup, tapi kita harus sampaikan hasil temuan ini kepada warga lainnya,”pinta Sang Pendekar.
Maka, dengan petunjuk Kepala Kampung, Sang Pemuda kemudian mengumpulkan warga. Dihadapan warga, sang Pemuda dengan didampingi Sang Pendekar melaporkan keampuhan Senjata Pamungkas itu, lalu meminta tanggapan warga. Beberapa warga mencoba memberikan koreksi, sebagian lainnya menambahkan informasi. Tetapi yang lebih penting, warga telah tahu bahaya yang sedang mengancam hidup dan kehidupan mereka, sehingga lahirlah kesepakatan untuk mengusulkan dua-tiga rekomendasi untuk menghadapi ancaman tersebut, termasuk kepada Sang Pendekar untuk dimintai bantuannya.
“Bagus, jangan kuatir, kami akan membantu sebisa kami, tetapi saya akan laporkan dulu kepada Guru Besar saya, apa yang bisa kami berikan,”Sang Pendekar meyakinkan warga. Maka bertepuktanganlah seluruh warga yang mengikuti pertemuan dengan meriahnya.
***Menautkan Jiwa pada Raga***
Pada suatu waktu yang direncanakan, Sang Guru Besar mengumpulkan seluruh pendekar dari seluruh negeri. Dia ingin tahu apakah senjata yang telah diberikannya sudah dimanfaatkan dengan baik. Karena menurutnya, senjata itu akan menentukan seperti apa perencanaan itu mesti dibuat.
Untuk lebih meyakinkan Guru Besar, setiap Pendekar membawa masing-masing Kepala Kampungnya. Melaporlah masing-masing Pendekar, bahwa setiap kampung berbeda-beda bahaya yang mengancamnya, bahkan ada kampung yang sudah siap menghadapi ancaman dari bahaya itu, mereka menganggap senjata yang diberikan bisa membantu menembak berbagai jenis sasaran.
Guru Besar mengakui bahwa senjata itu memang bisa menghasilkan “tembakan” yang berbeda-beda, sehingga dampak dan cara mengatasinya juga berbeda. Tetapi, karena sesuatu dan banyak hal (hanya Guru Besar yang tahu), maka semua usulan dari warga kampung, tidak bisa dibantu, maka diminta kepada para Duta Kampung (pendekar dan kepala kampung) untuk menyatukan pemahaman agar sasaran tembak nanti bisa sama.
Bingunglah para Duta Kampung, karena yang mereka tahu, setiap kampung akan berbeda sasaran tembaknya, karena jenis bahaya yang mengancam juga berbeda. Tapi apa boleh buat...tai kambing memang bulat...keputusan harus diambil secara bulat. Ikuti petunjuk Guru Besar, atau tidak dapat sama sekali......
Hmmm....semua jadi faham, ternyata kesalahan bukan pada senjata. Para pendekar adalah anak negeri yang tumbuh dalam asuhan ibu negeri yang lain, datang dengan pengetahuan tentang raga sebuah negeri yang dipelajarinya dari berbagai literatur. Ia belajar memahami negeri dalam waktu yang teramat singkat, namun mencoba membangunnya hanya bermodalkan “petunjuk” yang ternyata juga hanya tahu tentang raga. Sementara sang pemuda-utusan warga yang datang belajar kepada pendekar, adalah anak negeri yang lahir dan bertumbuh bersama jiwa negerinya yang dipahamkan oleh ibunya melalui tutur alamiah.
Sungguh, pendekar amat terkejut pada penjelasan sang Guru yang telah berpengalaman menggunakan “senjata itu” pada negeri-negeri lain. Kini, semua terdiam, membisu bersama ragu, bertanya di kedalaman hati, dan sesekali berdo’a memohon petunjuk Ilahi, semoga ada jalan terbaik.
Wahai pendekar negeriku, melihat kesungguhanmu, alangkah eloknya jika engkau bisa belajar menautkan jiwa pada raga, merajut kepentingan”mu” dengan kebutuhan “warga”. Karena negeri itu bukan hanya butuh kemegahan ragawi, tapi juga pada keelokan jiwawi.
Posting Komentar