Rahman Ramlan (DF Care) bersama Sumardi di pesisir Bone Lampe Ds Bulu-Bulu |
Menjelang maghrib, Sumardi tiba dengan motor yang
membonceng karung. Dia baru saja pulang dari kebun keluarganya. Sekarung
rambutan sebagai oleh-oleh menceriakan keluarganya yang telah menunggu. Katanya,
ada yang sudah disisihkan untukku dibawa pulang nanti. “Hehehe....,siap-siap
makan rambutan nich...”, teriakku dalam hati.
Rasanya perjalanan melelahkan sepanjang 120 km dari
Bantaeng, melewati Bulukumba dan Sinjai dan tiba di Dusun Bone Lampe sore itu (12/03),
terbayar sudah. Lelaki yang akan kutemui adalah warga Desa Bulu-Bulu yang
didaulat masyarakat dan Pemerintah menjadi Koordinator Fasilitator tingkat
Kecamatan Tonra pada program Adaptasi Perubahan Iklim kabupaten Bone. Saya bermaksud berbincang tentang Demplot
Rumput Laut yang dipeliharanya bersama anggota Kelompok Usaha Baru, yang lokasinya berjarak sekira 57 km dari kota Watampone.
Setelah Shalat maghrib berjamaah di masjid terdekat.
Seperti biasa, ketika kami berkunjung, isterinya menyajikan makanan, dengan
menu pilihan yang beragam. Tapi tidak untuk malam itu, bahkan dia mesti
mengajukan maaf sebelum mempersilakan makan. Saya sempat kaget, saya malah
mengucapkan terima kasih atas jamuannya, tapi dia malah tidak enak hati.
“Saya masih ingat di tahun 1990-an, warga di sini
(Dusun Bone Lampe), sangat mudah menangkap ikan, tidak perlu jauh mencari,
cukup dengan melempar jaring, ikan akan terjerat.” cerita Sumardi mengenang
masa remajanya. Kini, dia dan warga pesisir yang hanya bermodalkan perahu dan
mesin kecil, tak mampu menyaingi kekuatan para Pemodal yang telah merampas
sumber nafkah mereka dengan cara yang “Luar Biasa”.
“Coba bayangkan, rumahku hanya berjarak 10 meter
dari pantai, tapi tak bisa makan ikan segar lagi. Kami harus membeli ikan, dari
para pedagang keliling dari Sinjai yang sudah diawetkan dengan es batu,”
sungguh ironi menurutnya.
Malam itu, kami makan dengan lauk ikan yang “agak
segan” disuguhkannya. Ada setumpuk rasa “gemes” mengitari pembicaraan kami.
Lapar yang mengiringi lelahku, terkunci oleh dua colekan saja pada ikan bakar
di atas nampang. Diapun demikian, nafsu makannya tiba-tiba sirna, terenggut
kenyataan bahwa rasa ikannya sudah terjangkiti “obat bius” dari kelakuan
“Illegal Fishing”.
“Harapan kami, tinggal bertumpu pada budidaya rumput
laut. Kami serius memeliharanya,” harapnya. Tetapi bahaya pengeboman dan
pembiusan tetap mengancam usahanya itu, dan hal itu telah terbukti pada panen
kemarin, 62 bentangan rumput lautnya rusak, dan tersisa 38 yang bisa dipanen untuk dibibit kembali.
Sumardi dan warga pesisir lainnya, selalu optimis,
bahwa suatu saat laut akan asin lagi, dan memberikan harapan pada keberlanjutan
kehidupan mereka, asal mereka bisa tetap menjaga kelestarian lingkungannya,
minimal tidak tergoda kaya dengan cara yang melanggar hukum.
Posting Komentar