Malam itu, Mas Ujud sibuk berjibaku dengan kerjaannya yang telah ditekuninya selama 17 tahun. Menjual makanan tenda “sari laut” di ‘pantai kering’ kota watampone. Dalam waktu 5 menit dia melakukan sejumlah aktivitas yang silih berganti dikerjakannya, kecuali melayani tamu yang menjadi bagian tugas isterinya-nampaknya mereka kompak berbagi peran. Mulai dari memperkenalkan menu kepada tamu-ada menu ikan atau ayam potong yang ditaruh dalam kotak, menggoreng, memasak nasi, hingga mencuci piring. Sesekali dia periksa api pada kompornya, bila gasnya habis segera digantinya dengan yang baru. Ada dua kompor yang tersedia ditendanya yang berada di paling sudut pantai kering. Satu kompor untuk menggoreng, yang satunya lagi untuk memanaskan sup. Ukuran tendanya termasuk yang terbesar di antara jejeran Tenda para penjual.
Dia bercerita asal mula kedatangannya di kota Bumi Arung Palakka (sebutan nama kabupaten Bone). Pada tahun 1994 dia bersama seorang kawannya dari Lamongan, mencoba peruntungan ke Makassar. Seorang kenalannya di Makassar memberinya informasi tentang sebuah kota yang bernama Bone, layak untuk dijadikan tempat mengais rezeki dengan menjadi penjual makanan. Pada tahun yang sama, dia nekad ke Bone seorang diri. Terminal menjadi tujuan utamanya. Dari sinilah awal mula langkahnya dia ayunkan mencari “orang jawa” sepertinya. Berkenalanlah dia dengan seorang penjual gado-gado keliling yang akhirnya menunjukkan jalan baginya untuk mulai berusaha menjadi penjual makanan. Dengan bermodal uang 1,5 juta rupiah dia membeli seperangkat alat masak, bumbu masak, bahan baku, menyewa gerobak dan kamar kontrakan, serta sebuah spanduk yang bertuliskan “Tenda Makan Sari Laut”.
Pantai kering yang waktu itu masih berupa taman, dan belum seramai sekarang, dijadikannya tempat mangkal. “Waktu itu saya masih sendiri berjualan di tempat ini, sekarang sudah mulai banyak yang berjualan, bahkan orang sinipun (baca orang bugis) ada yang ikut berdagang sari laut”, ceritanya. Sejak pasar terbakar yang dia lupa kapan persisnya, pantai kering mulai ramai dijejali penjual. Dia sendiri tidak tahu dari mana asal nama “Pantai Kering”, tapi dari cerita yang beredar, katanya pemberian pelanggan yang mengakui keramainnya mirip pantai losari, hanya tak ada lautnya.
Hanya beberapa bulan dia menjual, Mas Ujud memutuskan untuk menikah. Seorang gadis jawa dipersuntingnya, dan kini telah memiliki 2 orang putri. Putri tertuanya disekolahkannya di sebuah pesantren di sengkang, sementara yang bungsu belum bersekolah, katanya masih balita.
Sambil mencuci piring dia bercerita mengenal masa-masa awal dia berjualan. Tiga buah baskom berisi air, secara bergantian diisinya piring. Baskom pertama, dia gunakan untuk menampung piring dan gelas kotor yang telah dicucinya dengan sabun, baskom kedua untuk membilas, dan baskom ketiga untuk menyempurnakan bilasan pertama. Piring dan gelas yang telah dibilasnya, lalu ditumpuk diatas kain kering. Seorang anak remaja, seusia adik sepupu saya yang masih SD kelas 3 yang disebutnya sebagai “anggota” yang membantunya melap piring dan gelas yang sudah dibersihkan. Sesekali anak itu ke meja pengunjung mengumpulkan piring, gelas, kobokan yang telah digunakan, lalu dibawa dan ditaruh dibawa meja tempat membilas.
Pria berkumis dengan tinggi sekitar 160 cm ini, lalu mengajak saya duduk. Beruntung, malam itu tidak ramai pelangganya. Setelah memberitahu isterinya bahwa dia ingin ngobrol-ngobrol dengan saya, dia lalu mengajak saya duduk di bangku panjang yang bisa diduduki sekitar 4 orang dewasa.
“Saya senang kerja di Bone Mas Rahman”, memulai kisahnya sambil membakar sebatang rokok merek Dji Sam Soe. Saya telah memperkenalkan diri di awal dan mengaku sedang belajar mengenal kehidupan pedagang di pantai kering.
Dia merasa beruntung menjual di kota Watampone. Dia menganggap, warga Bone senang makan di luar. Dalam sehari dia bisa menjual hingga 50-80 potong ayam. Jika dirupiahkan sekitar satu juta rupiah. “Jadi dalam sebulan, bisa dapat 30 juta dong Mas”, tanya saya dengan nada kagum campur kaget. “Sebenarnya tidak juga seperti itu”, dia coba meluruskan pernyataan saya. “Namanya berdagang, kadang ramai-kadang sepi”, dia melanjutkan penjelasannya sambil menawarkan minuman.
Ketika saya tanya tentang dampak perubahan cuaca terhadap dagangannya. Dia menjawab tidak ada pengaruhnya. Menurutnya, para petani atau nelayanlah yang paling terpengaruh terhadap perubahan cuaca yang tidak menentu. Kalaupun ada pengaruhnya bagi dagangannya, itu adalah dari bahan baku yang dibelinya di pasar. Bila bahan baku naik, maka diapun menyiasatinya dengan menaikkan harga jualannya.
Demikian pula untuk urusan politik, dia tidak mau terlibat. Walau pada hajatan 5 tahunan itu, dia sering dititipi kartu nama, dia hanya menerima saja untuk menghargai pelanggannya.
Malam itu saya pesan ayam goreng. Tidak sampai menunggu 10 menit, pesanan saya sudah datang, diantar langsung oleh isterinya. Di atas meja sudah tersedia botol kecap, cuka, garam, dan lombok botol. Sepiring nasi, ayam goreng dalam satu wadah piring bersama lalapan dan sambel dihidangkan di hadapan saya. Teringat dengan kawan-kawan Tim BCR CC yang pernah saya ajak ke tenda itu pada malam terakhir pelatihan CVCA. Hampir semua kawan-kawan minta nambah sambel, bahkan Mas Chris meminta di awal sebelum dihabiskan, katanya nanggung kalau masih mau sudah habis. Sambel buatan Mas Ujud memang nikmat, rasanya campur aduk antara manis, kecut dan pedas. Sangat jarang saya makan mengeluarkan keringat setelah itu.
Saya bertanya kepadanya, apa nama sambel yang dibuat itu. Dia cuma bilang, Sambel rasa keringat. “Maksudnya apa pak?’ tanya saya lagi. “Sambel itu hasil keringat saya meracik bumbu Mas, dan bisa membuat orang yang menikmatinya berkeringat”, jawabnya sambil tertawa. Oh, mengertilah saya kenapa disebut “Sambel Rasa Keringat”...ada-ada saja Mas Ujud ini. @RaRa-20.10.2011.
Posting Komentar